Friday, September 11, 2015

Mah, Pah, Bisakah Letakkan Sejenak Handphone itu ?

Handphone sudah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan orang zaman sekarang. Termasuk kamu, bukan? Suatu ketika kamu berangkat ke kampus. Ternyata kamu lupa membawa ponsel. Apa yang kamu lakukan? Pilihannya pasti dua: kamu bergegas putar arah untuk mengambil handphone, atau tetap ke kampus tapi hati tidak tenang seharian dan mood untuk ngapa-ngapain jadi rusak. Pasti dua itu pilihannya. Ya kan? Intinya, handphone sudah menjadi separuh nyawa seseorang.
Kemajuan teknologi telah membuat perubahan dan loncatan besar pada peradaban manusia, khususnya generasi masa kini. Handphone adalah salah satu wujud dari daya ungkit peradaban manusia tersebut. Peradaban manusia masa kini telah mengalami perubahan karakter yang sangat drastis yang diakibatkan oleh kehadiran benda kecil hasil dari kemajuan dan loncatan teknologi tersebut. Banyak kemudahan dan kemajuan yang bisa dicapai berkat kehadiran handphone. Namun bak pedang bermata dua, kehadirannya juga disertai berbagai pengaruh negatif.
Manusia masa kini, entah tua, muda atau anak-anak kecil, semakin lekat dan mesra dengan handphone-nya masing-masing. Setiap saat, di mana-mana dan apapun yang terjadi, manusia semakin mesra dengan gadget-nya. Bahkan dalam konteks ekstrim-pun, yaitu ketika menyetir mobil, masih tetap ada orang yang melakukannya bersamaan dengan berkirim-kirim pesan atau menelpon seseorang dengan ponselnya. Kesimpulannya, seperti sudah dipaparkan diatas, ketiadaan handphone akan membuat seseorang kehilangan mood, kehilangan ketenangan, hingga ‘lepasnya separuh nyawa’.
Tapi, sampai kapan kita terus bermesraan dengan handphone? Kebiasaan ini akan berdampak buruk suatu saat nanti ketika kita sudah berumah tangga. Mana yang lebih penting, anak, suami, istri atau ponsel kita?
Seperti inilah gambaran kehidupan rumah tangga yang istri atau suaminya selalu bermesraan dengan handphone.

Mah, ayo main boneka mah

Seorang psikolog Dr. Gary Chapman, dalam bukunya “Lima Bahasa Cinta” mengatakan kita semua memiliki tangki cinta psikologis yang harus diisi. Lebih tepatnya jika anak membutuhkan, maka orangtuanya yang sebaiknya mengisi. Anak yang tangki cintanya penuh maka dia akan suka pada dirinya sendiri, tenang dan merasa aman. Hal ini dapat diartikan sebagai anak yang berbahagia dan memiliki “inner” motivasi.
Anak memiliki kebutuhan yang hanya bisa dipenuhi oleh orang tuanya. Anak butuh mendapatkan rasa aman, butuh penerimaan dan cinta, butuh untuk dikontrol. Namun bagaimana kebutuhan ini terpenuhi jika orang tuanya, terutama ibunya selalu sibuk untuk BBM, Chat, Line atau melakukan hal-hal apapun dengan handphone sepanjang waktu.

Pah, ajari aku menggambar mobil pah

Seorang ayah itu adalah teman yang paling asik bagi anaknya. Ayah adalah sosok jagoan yang selalu bisa menyelesaikan kesulitan anak-anaknya. Maka dari itu, anak sangat butuh perhatian ayah untuk sekedar seru-seruan bermain. Ayah yang sibuk dengan dirinya sendiri tentu meberikan efek menyedihkan untuk anaknya. Selama weekday, ayah sudah banyak menghabiskan waktu di kantor. Anak jarang bisa bersendau gurau dengan anak. Eh, giliran ayahnya sudah sampai di rumah, atau saat weekend, ayah tetap saja sibuk sendiri dengan handphone. Sedih kan!

Siapa suamimu, aku atau handphone itu?

Menurut Kerry Patterson, penulis terlaris New York Times, empat dari lima orang percaya bahwa komunikasi yang buruk memainkan peranan penting dalam terputusnya hubungan. Selain itu, Therapist Nancy B. Irwin mengatakan bahwa konflik sering muncul akibat dari komunikasi yang tidak tersalurkan, harapan yang tidak terpenuhi atau niat yang terhalangi. Nah jelas kan, penggunaan handphone yang tidak mengenal waktu juga akan mengganggu proses komunikasi antara suami istri. Bisa-bisa kita lebih sering bermesraan dengan handphone daripada suami atau istri. Duh, kacau kan!

No comments:

Post a Comment